Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Metode Tarjih dalam Memahami Mukhtaliful Hadits

METODE TARJIH

1.  Pengertian Metode Tarjih
Secara bahasa, tarjih ترجح  berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[1]
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Adapun yang dimaksud tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama adalah membandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan lainnya. Mentarjihkan salah satunya dengan segala jalan tarjih ditempuh bila usaha menjama’ atau menasakhkan tidak berhasil.[2] Tarjih merupakan jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan problema hadits mukhtalif setelah menempuh jalan al-jam’u dan jalan nasakh. Tarjih merupakan jalan terakhir dilakukan sebelum Tawaqquf.[3]



2.  Macam-Macam Tarjih
Menurut para ulama’ ushul fiqih, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk mentarjihkan dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-ataufiq dan nasakh. Namun cara pentarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu :[4]
a.    Tarjih bain al-Nushush (النصوص بين الترجح)
Untuk mengetahui kuatnya salah satu dari nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu dari sisi sanadnya, matannya, dari segi hukum yang dikandung dalam nash, dan pentarjihan dengan menggunakan faktor dalil lain di luar nash.
1)    Tarjih ditinjau dari segi sanad
a)    Hendaklah dipilih sanad yang banyak rowinya dari pada yang sedikit.
b)    Hendaklah dipilih rowi-rowinya yang ahli fiqh dari pada yang bukan.
c)    Hendaklah dipilih rowi-rowi yang banyak  hafalannya.
d)    Hendak dipilih rowi yang ikut serta dalam sesuatu kejadian yang diceritakannya karna ia lebih mengetaui.
e)    Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan.
f)     Hendaknya dipilih rowi-rowi yang banyak bergaul dengan Nabi saw.

2)    Tarjih ditinjau dari segi matan hadis
Untuk memilih mana matan yang lebih kuat dari pada lainnya, ada beberapa jalan sebagai berikut:
a)    Hendaklah dipilih mana matan yang bermakna hakikat dari pada majaz.
b)    Hendaklah memilih yang isinya khash dari pada yang umum.
c)    Hendaklah dipilih yang menunjukkan pada maksud dua jalan daripada satu jalan.
d)    Hendaklah mendahulukan yang mengandung larangan dari pada suruhan.
e)    Hendaklah mendahulukan yang mengandung perinyah dari pada kebolehan.
f)     Hendaklah mendahulukan yang mengandung isyarat hukum dari pada tidak.

3)    Tarjih ditinjau dari segi isi hadis
a)    Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
b)    Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya.
c)    Mendahulukan yang mengandung membatalkan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
d)    Mendahulukan yang hukumnya ringan dari pada yang berat.
e)    Mendahulukan yang menetapkan hukum ashal atau bara’ah ashliyah.
4)    Tarjih ditinjau dari segi hal-hal diluar hadis.
a)    Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil lain.
b)    Didahulukan hadis qouliyah dari pada fi’liyah
c)    Didahulukan hadis riwayat yang lebih menyerupai dhahir Qur’an.

b.    Tarjih bain al-Aqyisah (الأقيسة بين الترجح )
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi:
1)  Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2)  Dari segi hukum  furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3)  Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
4)  Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.[5]

3.  Contoh Penerapan Hadits Mukhtalif dengan Metode Tarjih
Meringkas dari karya Zuhad, contoh penerapan metode tarjih yaitu tentang buang kotoran orang Arab di Masjid. Abu Daud dalam Sunan kitab Thaharah, meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa seorang Arab buang kotoran di Masjid, lalu Rasulullah saw bersabda:[6]
صبوا عليه سجلا من ماء اوقال ذنوبا من ماء
Tuangkan atau siramkan padanya (bekas baul) satu timba atau ember air, atau timba yang penuh berisi air.

خذوا ما بال عليه من التراب فألقوه وأهريقوا على مكانهه ماء
Ambillah debu atau lemah yang dipakai buang kotoran kemudian lemparkan, lalu tuangkan atau tumpahkan air pada tempat itu.

Kata Ibnu Qutaibah bahwa perbedaan yang terjadi dalam teks di atas disebabkan oleh periwayatan perawi. Hadits Abu Hurairah dinilai lebih shahih dibanding hadits Abdullah Ibn Ma’qal, karena Abu Hurairah waktu itu menyaksikan sendiri peristiwa itu dan hadir dalam majelis serta melihat langsung. Sementara Abdullah Ibn Ma’qal tidak termasuk jajaran sahabat dan bukan orang yang pernah berjumpa dengan Nabi. Oleh sebab pernyataan Abdullah Ibn Ma’qal tidak sebanding perkataan orang-orang yang hadir itu dan menyaksikan peristiwa secara langsung. Ayah Abdullah Ibn Ma’qal, yaitu Ma’qal Ibn Muqarran Abu Amarah al-Muzanni termasuk yang meriwayatkan dari Nabi. Sementara Abdullah, anaknya tidak diketahui ia meriwayatkan dari Nabi.[7]
Contoh lain penerapan metode tarjih yaitu permasalahan Shalat Dhuha. Imam Bukhari meriwayatkan hadits Aisyah:[8]
ما رأيت رسول لله سبحّ سبحة الضحى وإنى لأسبحها

Saya tidak melihat Rasulullah melakukan shalat tasbih atau sunat dhuha, aku pasti akan melakukannya (shalat sunat itu).

Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Syaqiq dari Aisyah:
أكان النبى ص.م يصلى الضحى قالت لا, إلا ان يجئ من مغيبة

Apakah Nabi melakukan shalat dhuha? katanya: tidak, kecuali jika beliau datang dari ketidakhadiran atau pergi

Kemudian Imam Muslim dari jalur Mu’adzah dari Aisyah:

انها سألت عائسة كم كان رسول الله يصلى صلاة الضحى قالت اربع ركعات ويزيد ماشاء
Ia bertanya kepada ‘Aisyah, berapa rakaat Rasulullah melaksanakan shalat dhuha? ia berkata: empat rakaat dan menambah sesuai kehendaknya.

Hadits pertama menafikan atau meniadakan secara mutlak penyaksian Aisyah terhadap Nabi dalam melakukan shalat dhuha. Pada hadits kedua pembatasan peniadaan penyaksian Aisyah terhadap shalat dhuha Nabi, selain kedatangan beliau bepergian (ketidakhadiran). Dan pada hadits ketiga penetapan secara mutlak tindakan Nabi melakukan shalat dhuha.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi riwayat-riwayat di atas. Mayoritas ulama dan Ibn Abdil Barr cenderung menguatkan atau merajihkan hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, selain yang diriwayatkan Muslim sendirian. Mereka berkata, ketiadaan penyaksian Aisyah terhadap shalat dhuha yang dilakukan oleh Nabi, tidak mengharuskan tidak terjadinya peristiwa shalat dhuha itu. Oleh sebab itu, maka lebih didahulukan periwayatan yang menetapkan adanya shalat dhuha. Sementara ulama yang lain lebih suka melakukan kompromi.Al-Baihaqi berkata, bahwa maksud perkataan “ma raituhu sabbaha” artinya terus-menerus dilakukannya. Dan perkataannya “wa ini lausabbihuha” artinya akan melaksanakan terus-menerus. Ada kemungkinan yang dinafikan Aisyah tentang shalat dhuha yang dikenal saat itu dengan gerakan (hai’ah) tertentu, bilangan tertentu, pada waktu yang tertentu pula. Dan bahwa Nabi melaksanakan shalat dhuha jika beliau kembali dari bepergian, tidak dengan hitungan tertentu dan lainnya, sebagaimana ia nyatakan “beliau shalat empat rakaat dan menambah menurut kehendaknya.”[9]





[1] Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997. Hlm. 195.
[2]Ali Hasballah, op.cit., Hlm. 236.
[3] Daniel juned, op.cit., Hlm. 102-103
[4] Moh. Rifa’, usul fiqih, Bandung:  PT. al-Ma’arif, 1973, hlm. 157.
[5] Moh. Rifa’,loc.cit.
[6] Zuhad, op.cit., Hlm. 85-56.
[7] Zuhad, loc.cit.
[8] Zuhad, op.cit., Hlm. 99.
[9] Zuhad, op.cit., Hlm. 100.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini