Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Metode Nasikh dan Mansukh dalam Memahami Mukhtaliful Hadits

METODE NASAKH DAN MANSUKH

1.  Pengertian Metode Nasakh dan Mansukh
Secara etimologi kata Nasikh adalah bentuk isim fa’il, dari madli نسخ yang mempunyai beberapa makna, yaitu الإزا لة  (meng-hilangkan) seperti kata نسخت الشمس الظلّ  (mata hari itu menghilangkan naunganya). Dan النقل (memindahkan) seperti kaliamat نسخت الكتاب  (aku memindahkan apa yang ada di dalam buku). Jadi Nâsikh itu menghilangkan yang mansukh atau memindakannya pada yang lain.[1] Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat atau dihapuskan.
Sedangkan menurut istilah, nasakh berarti mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Adapun yang dimaksud dengan nasakh dalam hal ini adalah meneliti sejarah datangnya kedua hadits yang terjadi ta’arudh tersebut untuk ditetapkan yang datang kemudian sebagai nasikh (penghapus) terhadap yang datang lebih dahulu.[2]
Nasakh berarti diangkatnya suatu hukum syar’î yang telah lalu dengan dalil nash yang datang kemudian yang disertai dengan tenggang waktu antara keduanya. Atau dengan kata lain, naskh adalah pembatalan suatu ketentuan dengan ketentuan lain yang datang kemudian.[3]
Penyelesaian dalam bentuk ini dilakukan apabila tidak dapat dicapai kompromi antara hadits-hadits yang bertentangan. Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa suatu hadits telah menasakh hadits yang lain, di antaranya adalah:[4]
a.    Adanya penjelasan dari Rasulullah bahwa suatu hadits itu telah dinasakh.
b.    Adanya petunjuk dari sahabat tentang hadits-hadits yang dinasakh.
c.    Telah diketahui tarikhnya.
d.    berdasarkan dalil Ijma’.

2.    Cara Mengetahui Nasakh Mansukh
Nasakh dapat diketahui melalui beberapa hal berikut:[5]
a.    Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW, seperti hadits ;
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرَهَا
“semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tetapi (sekarang) berziarahlah “.

b.    Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
كَانَ اخِرَ الامْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ص.م. تَرْكَ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النّأرُ
“dua perintah terakhir Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang tersentuh api”. (HR. Abu Dawud dan al Nasa’i )

c.    Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin ‘Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ        
“orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”     

Dan hadits Ibnu Abbas r.a. ia berkata :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau sedang berpuasa “.

Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama hadits Syidad itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua hadits Ibnu Abbas terjadi pada waktu Haji Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua merupakan Nasikh bagi hadits yang pertama.

3.    Contoh Penerapan Metode Nasakh Mansukh dalam hadits Mukhtalif
Beberapa contoh hadits yang nasakh dan mansukh adalah tentang ziarah kubur. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah:[6]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله ص.م لعن الله زوّرات القبور
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa: Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat para perempuan berziarah kubur. (Turmidzi).

Hadits tersebut di mansukh oleh hadits berikut:

عن بريدة قال قال رسول الله ص.م قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمّد في زيارة قبر أمّه فزوروها فإنّها تذكّر الآخرة

Diriwayatkan dari Buraidah, bahwa: Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah, sebab dengan ziarah kubur itu akan membangkitkan kesadaran akan kehidupan akhirat. (Turmidzi).

Ulama’ ahli hadits berpendapat bahwa larangan berziarah bagi perempuan itu sebelum adanya rukhshah (kemurahan atau kebolehan) untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkan untuk berziarah kubur, maka kebolehan itu berlaku secara umum bagi laki-laki dan perempuan. Sebagian ulama’ ada yang memandang makruh ziarah kubur bagi perempuan, dan mereka berkata bahwa kemakruhan ziarah kubur bagi perempuan itu disebabkan karena mereka kurang sabar dan banyak kegelisahannya.[7]
Dari hadis di atas diketahui juga bahwa dahulu hukum ziarah kubur itu dilarang, kemudian diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat yang kedua  Nabi menyebutkan sisi positif ziarah kubur yakni karena di dalam ziarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.
Contoh lain tentang penerapan metode nasakh dan mansukh dalam hadits mukhtalif yaitu tentang hukum bekam:[8]

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ وَدَاوُدُ بْنُ رَشِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بِشْرٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang membekam dan yang dibekam semuanya batal"

Kemudian hadis di atas dinasakh dengan hadist yang muncul selanjutnya, yaitu:

كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ وَلَوْ احْتَجَمَ صَائِمٌ لَمْ أَرَ ذَلِكَ أَنْ يُفْطِرَهُ
“Jika orang yang berpuasa berhati-hati dan tidak berbekam itu lebih aku sukai, akan tetapi jika dia berbekam menurutku hal itu tidak membatalkan puasa”





Hadist ini juga diperkuat dengan hadist berikut, Hadis Ibnu Abbas r.a. ia berkata:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Nabi saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.






[1] Mahmud ath-Thakhan, op.cit., Hlm. 46.
[2]Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, Kairo: Darrul Ma’arif, 1970, Hlm. 212.
[3]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Darrul Ma’arif, 1986. Hlm. 222.
[4] Mahmud ath-Thakhan, op.cit., Hlm. 60.
[5] Nuruddin ‘Itr, op.cit., hal. 348-349
[6] Izzudin Husain as-Syekh, Menyikapi Hadis-hadis yang Saling bertentangan: Hadis-hadis Nasikh dan Mansukh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Hlm. 76.
[7] Zuhad, op.cit., Hlm. 132.
[8] Nuruddin ‘Itr, op.cit., Hlm. 349.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini