Sebuah Catatan Kecil yang Menaburkan Kecerahan dalam Wacana Kehidupan

Metode al-Jam'u (Kompromi) dalam Memahami Mukhtaliful Hadits

METODE AL-JAM’U (KOMPROMI)

1.  Pengertian al-Jam’u wal-Talfiq
Iwadl Sayyid Shalih dalam karya Thahir Jawabi mendefinisikan metode kompromi adalah:[1]
التوفق بين الحديثين المتعارضين للعملل بهما
menyesuaikan atau menyetujui antara dua hadits yang bertentangan untuk mengamalkan isi pada keduanya.

Pengertian di atas dapat diterima (maqbul), tetapi mungkin diterapkan atau ditambahkan sandaran dalam mengatasi pertentangan hadits, maka pengertian yang tepat adalah:[2]
التوفق بين الحديثين المتعارضين استنادا إلى دليل دفع تعارضهما
Mengambil petunjuk di antara dua hadits yang bertentangan dengan berpijak pada petunjuk tertentu dalam mengatasi dua hadits yang bertentangan

Pengertian ini merupakan kaidah ushuliyah, yaitu:
أن إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما
Pengamalan kedua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya.

Sedangkan al-Qarafi dalam buku Shuhui Islmail, mengartikan al-jam’u yaitu mengkompromikan hadits-hadits yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya masing-masing.[3]
Penyelesaian hadits mukhtalif dalam bentuk ini dilakukan berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul, baik dengan cara takhshîsh (mengkhususkan dalil lain yang bersifat umum), taqyîd (membatasi dalil lain yang masih mutlak), takwîl (menjelaskan dan mengarahkan maksudnya) maupun dengan cara yang lain.[4]

2.  Syarat-syarat Metode al-Jam’u
M. Thahir al-Jawabi menjelaskan adanya syarat-syarat dalam metode al-Jam’u. al-Jam’u di antara dua hadits yang kelihatannya bertentangan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[5]
a.  Kedua hadits yang bertentangan harus shahih, sehingga hadits dha’if tidak berhadapan dengan hadits shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruhi oleh adanya perbedaan atau pertentangan hadits dha’if.
b.  Ta’arud itu tidak dalam bentuk berlawanan di mana tidak memungkinkan dilakukan kompromi (al-Jam’u) di antara keduanya.
c.   Kompromi (al-Jam’u) itu tidak membatalkan salah satu hadits yang bertentangan. Ketika membatalkan salah satunya otomatis hadits yang satunya tidak digunakan. Padahal tujuan adanya dalil adalah diamalkan, bukan mengabaikan kedua hadits tersebut. 
d.  Kompromi (al-Jam’u) itu harus memenuhi ketentuan uslub bahasa Arab dan tujuan syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.

3.  Kaidah-Kaidah al-Jam’u
Sebagaimana yang telah dikutip dari M. Thahir al-Jawabi, ringkasan kaidah-kaidah yang diambil dalam Imam Syafi’i sebagai berikut:
a.    Hadits yang berasal dari Rasulullah saw harus diamalkan dalam bentuk umum dan dhahir, kecuali jika ada petunjuk dari Rasulullah saw bahwa yang diinginkan dari hadits adalah kekhususannya.
b.    Yang dimenangkan dalam pertentangan adalah mubahnya suatu perkara.
c.    Mengkompromikan diantara yang mujmal dan mufassar dan antara yang ‘amm dan khas.
Kaidah ini berimplikasi agar tidak menggunakan hadits Rasulullah saw atas makna yang ghairu dhahir kecuali adanya dalil-dalil syara’ atau petunjuk yang menguatkan maksud pensyari’atan.

4.  Contoh Penerapan Metode al-Jam’u dalam Hadits-hadits Mukhtalif
Sebagai contoh penerapan hadits mukhtalif dengan menggunakan metode kompromi, dalam masalah zakat pertanian, ada sebuah hadits yang berbunyi:
حد ثنا سعيد بن ابي مر يم حد ثنا عبد الله بن وىب قال اخبر ني يونس بن يزيد عن الزهري عن سالم بن عبد الله عن ابيو رضي الله عنو عن النبي ص. م قال : فيما سقت السماء والعيون اوكان عشريا العشر وما سقي بالنضع نصف العشر) رواه البحاري [6](

Sa’id bin Abi Maryam telah menceritakan kepada kami, ‘Abdillah bin Wahab telah menceritakan kepada kami, ia berkata Yunus bin Yazid telah mengabari aku, dari Zuhriy dari Salim bin Abdillah, dari Bapaknya r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda; hasil pertanian yang diairi dengan air hujan, dengan mata air atau genangan air alami lainnya, zakatnya sepuluh persen dan yang diairi dengan menggunakan bantuan unta, zakatnya lima persen‛ (HR. Bukhari).

Dalam hadits yang lain disebutkan sebagai berikut:

حد ثنا مسدد حدثنا يحي حدثنا مالك قال حدثني محمد بن عبدالله بن عبد الرحمن بن ابي صعصعة عن ابيو عن ابي سعيدالخدري رضي الله عنو عن النبي ص.م قال ليس فيما اقل من خمسة او سق صدقة)  رواه البخاري([7]

Musaddad telah menceritakan kepada kami, Yahya telah menceritakan kepada kami, Malik berkata bahwa Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah telah men-ceritakan kepadaku, dari Bapaknya dari Sa’id al-Khudriy r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda; tidak wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasaq‛. (HR. Bukhari).

Pemahaman terhadap kedua hadis di atas, dengan metode al jam’u; hadis pertama mewajibkan zakat hasil pertanian yang diairi dengan air hujan, dengan mata air atau genangan air alami lainnya, zakatnya sepuluh persen dan yang diairi dengan menggunakan bantuan unta, zakatnya lima persen. sedangkan hadis kedua, meniadakan kewajiban zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasaq. Dengan demikian, didapatkan pemahaman al jam’u bahwa zakat hasil pertanian wajib dikeluarkan sebanyak lima persen jika hasil pertanian telah mencapai lima wasaq dan diairi dengan unsur usaha. Sedangkan mengeluarkan zakat sebesar sepuluh persen jika hasil pertanian telah mencapai lima wasaq dan diarii oleh air hujan atau sumber mata air (tidak ada unsur usaha mengeluarkan air). 
Contoh lain aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufîq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah saw. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:[8]
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً.
“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R. asy-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufiq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaful Hadîts:[9]
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ.
Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)”.






[1] Muhammad Thahir al-Jawabi asy-Syarifi,  op.cit., Hlm. 375
[2] Muhammad Thahir al-Jawabi asy-Syarifi, loc.cit.
[3] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Hlm. 14.
[4] Muhammad Thahir al-Jawabi asy-Syarifi, op.cit., Hlm. 377.
[5] Muhammad Thahir al-Jawabi asy-Syarifi, Ibid., Hlm. 375.
[6] Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja’fiyyi, Shahih Bukhari, Juz 1, Beirut-Libanon: Darrul kutub Ilmiyah, 1992. Hlm. 259
[7] Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Mughirah Ibnu Bardazabah Al-Bukhari Al-Ja’fiyyi, Ibid.,
[8] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits, Yogyakarta: Idea Press, 2008. Hlm. 88-90.
[9] Abdul Mustaqim, loc.cit.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

HALAMAN CATATAN WACANA

Makalah

Info

Opini